Mengabadikan Kenangan, Cetak Foto atau Unggah ke Media Sosial?
Kenangan memang tak akan pernah kita lalui kembali dalam situasi yang sama, tapi kita selalu bisa kembali ke dalam kenangan bersama sebuah harapan.
Berjayanya Cetak Foto
Pernah menonton episode Spongebob (ah, ini emak-emak kadang suka ikut nyimak tontonan anak-anak, hihi), yang bercerita tentang rumah nanasnya yang menjadi penuh dengan benda-benda yang dianggapnya memiliki kenangan masing-masing? Mulai dari foto masa kecil, kaos kaki bayi, sepatu pertama jaman sekolah TK, pensil penuh kenangan, hingga semua benda yang ia ceritakan dengan kisahnya masing-masing.
Hingga habislah semua tempat penyimpanan di rumahnya, bahkan ia pun susah masuk rumah karena bertumpuknya benda-benda yang terlihat sebagai sampah oleh sang tetangga, Squidword 😅. Dari sinilah akhirnya Spongebob pun mengubah "koleksi kenangan"nya yang lama-lama tak ubahnya seperti tumpukan sampah menjadi tumpukan koleksi foto. Setiap benda ia abadikan dengan kamera. Banyak foto yang sudah ia cetak.
Namun, ternyata sama saja, haha!
Koleksi fotonya pun tetap membanjiri rumahnya hingga diprotes tetangganya lagi.
Sebuah episode yang menurutku cukup menggelitik, karena aku pun termasuk orang yang suka menyimpan kenangan. Benda-benda yang selalu bisa bercerita tentang masanya. Dan ketika jamannya aku mengenal kamera, akhirnya banyak yang bisa terabadikan. Selain untuk passion dan belajar fotografi, kamera pun banyak andil untuk menangkap setiap momen bersama keluarga kami. Beruntungnya, alhamdulillah rumah masih aman dari koleksi dan tidak banjir foto-foto kenangan macam episode tersebut 😃
Jaman masa kecil dulu, bapak yang memang hobi pada photography, menyukai kamera. Setiap momen hampir selalu beliau abadikan. Paling seru itu ketika kami berfoto bersama dengan kamera yang diletakkan di atas meja dan tumpukan buku tebal, sebagai pengganti tripod kalau di masa kini. Lalu ketika shutter sudah ditekan, bapak akan lekas berlari mengambil posisi agar bisa masuk frame sebelum lampu blitz menyala.
Dan yang jadi kenangan juga, ketika kami pergi ke percetakan foto untuk mencetak roll foto yang jaman itu masih berupa gulungan kertas negatif yang memerlukan pencucian di studio foto. Kadang sebelum dicetak, kami memilih foto mana yang mau dicetak dari "klise". Ini bentuknya di kertas negatif juga, ketika bagian kiri menjadi bagian kanan, dan ketika badan hanya tampak berupa warna cokelat atau keunguan.
Ah, kangen masa itu.
Masa ketika merindukan momen maka kami akan memilih album-album foto dan membukanya satu per satu yang menunjukkan hal-hal indah untuk dikenang.
Periode Digital
Sekarang jamannya bocah-bocah menyebut jaman now yang penuh wow (emak tidak mau kalah juga dengan menamakan diri emak-emak jaman now, xixi), ketika dunia benar hanya berada dalam jentikan jari. Mau motret tinggal pencet shutter di gadget, mengoperasikan kamera di tripod pun tidak perlu berlari-lari karena hanya tinggal pencet remote dan otomatis sudah terjepret (duh bapak, maafkan anakmu yang tidak tahu tripod, hiks). Ditambah dengan keberadaan sosmed yang memfasilitasi setiap orang untuk eksis, dari kegiatan bangun tidur masih berkutat dengan bantal hingga kegiatan akan tidur.
Kalau bagiku, keberadaan sosial media memiliki keuntungan untuk mengunggah foto dan tentu saja menjadi penyimpan kenangan yang efektif. Andai saja Spongebob memiliki akun Instagram, haha.
Meski memang selalu ada dua sisi ya tentang semua hal di dunia itu. Adanya sosmed pun selain memiliki tempat tak terbatas untuk menjadi album digital, namun tetap menyiapkan back up kalau-kalau sosmed bermasalah, misal lupa password atau diretas 😥. Aduh, emak bisa pusing kalau album digitalnya ga bisa lagi dibuka, hihi.
Jadi lebih baik yang mana?
Album Foto Luring vs Album Foto Daring
Lebih cocok kalau dikembalikan ke masing-masing ya. Semua memiliki kelebihan dan kekurangan. Tapi kalau saya, lebih suka menyimpan konvensional. Ditambah lagi, ayahnya Azzam dan Zizie tidak mengijinkanku untuk mengunggah di sosmed jika memperlihatkan wajah. Jadilah emak berkreasi dunk ketika online 😍
Kreasi itu berupa mencetak momen yang memang benar-benar baguuuuss (dan tentu saja penampilan emak yang menuju paripurna dong yaaa, maksudnya kerudungnya tidak sedang miring apalagi pas mata berkedip, uwuwww tidak bangeet deh kalau itu terjadi), memberinya frame kalau memang mau dipasang atau hanya dicetak dan disimpan di album.
Dan bagian menariknya, aku suka ketika nantinya lembar-lembar foto itu akan menjadi retro. Tampak menua, hihi. Rasanya semakin artistik.
Pengen sih foto cetak itu dibikin scrapbook, tapi sepertinya nanti saja deh, kalau storage sudah bertambah atau ketika bocah kecil Zizie sudah tambah pinter berkreasi gunting tempel 😄.
Pengen sih foto cetak itu dibikin scrapbook, tapi sepertinya nanti saja deh, kalau storage sudah bertambah atau ketika bocah kecil Zizie sudah tambah pinter berkreasi gunting tempel 😄.
Sedang album digital hanya untuk foto kami yang tak tampak wajah (di sini emak berkreasi juga dengan mengambil angle yang pas agar meski tak tampak wajah namun foto itu tetap bisa bercerita) atau untuk foto-foto karya dan belajar fotografi. Bisa diintip yaaa di akun www.instagram.com/penaviana 😊
Kalau kamu suka yang mana? Suka album digital atau menjadi Spongebob? Eh.. 😂
Posting Komentar untuk "Mengabadikan Kenangan, Cetak Foto atau Unggah ke Media Sosial?"