Episode "Pada Suatu Hari" Bapak
Mungkin kita tak sadar, ulang-ulangan yang kita alami akan menjadi kenangan yang amat dirindukan di saat kita telah menyadari masa tak akan terulang (Viana Wahyu)
Pada suatu hari,
Aku pernah melontarkan sedikit protes pada bapak, yang mengawali setiap kisah harian yang beliau ceritakan pada kami. "Bapak, masak pada suatu hari terus sih?"
Dan bapak hanya tersenyum. Sesekali berganti kata, sesekali tetap sama. Dan aku tak pernah memprotesnya lagi.
Karena sudah cukup seru mendengar cerita beliau padaku dan adek perempuanku. Meski itu pun cerita yang pernah diceritakan beliau. Cerita tersering ialah tentang Kancil, anak yang nakal.
Momen bercerita itu adalah momen kami semua berkumpul di satu tempat yang sama. Ketika bapak bercerita pada dua anak gadisnya, sedang ibu menyiapkan pisang goreng atau camilan apa pun yang membuat keseruan itu semakin hangat.
Pada suatu hari,
Aku sudah lebih suka membaca cerita sendiri dibanding mendengarkan cerita bapak. Buku-buku, majalah, komik tebal cerita pewayangan Ramayana, Mahabharata, dan kisah silat yang ada di rumah semua kulahap.
Ketika kelas 5 SD aku mulai suka menulis. Mengakhiri hari dengan menulis diary. Tentang pertemanan masa kecil dan juga setiap rasa yang hinggap. Pernah aku saling berkirim surat dengan sesama teman di satu SD maupun beda sekolah.
Ketika masanya aku mengenal bahasa Inggris. Dengan sok gaya, aku mengganti kalimat di diaryku dengan bahasa Inggris, agar adek yang pernah iseng membaca diary yang kutaruh di bawah bantal tidak mengerti isinya.
Ah, senang sekali masa itu. Bahkan ketika menang lomba di TPA berhadiah buku agenda. Semakin rajin aku menulisinya.
Pada suatu hari,
Di senja yang gelap bersama gerimis yang belum juga hendak mengakhiri ceritanya, meski semalaman hujan sudah mengguyur kota kami, aku rindu sekali sosok yang sering mengulang "pada suatu hari" di masa kecil dulu.
Rindu yang hanya bisa terbawa oleh petrikor, aroma tanah yang menguar saat hujan. Rindu tanpa bisa memeluknya.
Bapak...
Aku merindumu,
Dalam detak hari yang kulalui kini bersama menantu dan cucu-cucumu, tanpa bisa lagi mendengar suaramu di ujung telepon di sana. Sebab doa saja yang sekarang bisa melabuhkan rinduku kini.
Merindu ceritamu dan aku bercerita padamu, yang selalu kau tanggapi "out of the box". Dan selalu, aku mendapatkan semangat dan pemikiran baru karenanya.
Bapak...
Terima kasih,
Hantaran kata "pada suatu hari"mu akan selalu kuingat. Dan akan kuwariskan pada cucu-cucumu, sebab lelaki yang menjadi menantumu di sampingku kini, mau berjanji untuk menemaniku mengukir cerita anak-anak kami, "agar anak-anak kita punya banyak masa kecil yang indah seperti masa kecilmu bersama bapak, bun."
Aku pernah melontarkan sedikit protes pada bapak, yang mengawali setiap kisah harian yang beliau ceritakan pada kami. "Bapak, masak pada suatu hari terus sih?"
Dan bapak hanya tersenyum. Sesekali berganti kata, sesekali tetap sama. Dan aku tak pernah memprotesnya lagi.
Karena sudah cukup seru mendengar cerita beliau padaku dan adek perempuanku. Meski itu pun cerita yang pernah diceritakan beliau. Cerita tersering ialah tentang Kancil, anak yang nakal.
Momen bercerita itu adalah momen kami semua berkumpul di satu tempat yang sama. Ketika bapak bercerita pada dua anak gadisnya, sedang ibu menyiapkan pisang goreng atau camilan apa pun yang membuat keseruan itu semakin hangat.
Pada suatu hari,
Aku sudah lebih suka membaca cerita sendiri dibanding mendengarkan cerita bapak. Buku-buku, majalah, komik tebal cerita pewayangan Ramayana, Mahabharata, dan kisah silat yang ada di rumah semua kulahap.
Ketika kelas 5 SD aku mulai suka menulis. Mengakhiri hari dengan menulis diary. Tentang pertemanan masa kecil dan juga setiap rasa yang hinggap. Pernah aku saling berkirim surat dengan sesama teman di satu SD maupun beda sekolah.
Ketika masanya aku mengenal bahasa Inggris. Dengan sok gaya, aku mengganti kalimat di diaryku dengan bahasa Inggris, agar adek yang pernah iseng membaca diary yang kutaruh di bawah bantal tidak mengerti isinya.
Ah, senang sekali masa itu. Bahkan ketika menang lomba di TPA berhadiah buku agenda. Semakin rajin aku menulisinya.
Pada suatu hari,
Di senja yang gelap bersama gerimis yang belum juga hendak mengakhiri ceritanya, meski semalaman hujan sudah mengguyur kota kami, aku rindu sekali sosok yang sering mengulang "pada suatu hari" di masa kecil dulu.
Rindu yang hanya bisa terbawa oleh petrikor, aroma tanah yang menguar saat hujan. Rindu tanpa bisa memeluknya.
Bapak...
Aku merindumu,
Dalam detak hari yang kulalui kini bersama menantu dan cucu-cucumu, tanpa bisa lagi mendengar suaramu di ujung telepon di sana. Sebab doa saja yang sekarang bisa melabuhkan rinduku kini.
Merindu ceritamu dan aku bercerita padamu, yang selalu kau tanggapi "out of the box". Dan selalu, aku mendapatkan semangat dan pemikiran baru karenanya.
Bapak...
Terima kasih,
Hantaran kata "pada suatu hari"mu akan selalu kuingat. Dan akan kuwariskan pada cucu-cucumu, sebab lelaki yang menjadi menantumu di sampingku kini, mau berjanji untuk menemaniku mengukir cerita anak-anak kami, "agar anak-anak kita punya banyak masa kecil yang indah seperti masa kecilmu bersama bapak, bun."
Posting Komentar untuk "Episode "Pada Suatu Hari" Bapak"