Orang Tua Kita, Surga Cinta Kita
Bismillah
Mencinta adalah proses mengaktifkan segenap sistem diri untuk melebur pada yang kita cinta (Viana Wahyu)
Bila ada yang bertemu mertua untuk pertama kali saat akad nikah, maka aku salah satunya.
Pada tanggal 6 bulan 6 tahun 2009 adalah momen pertama berjumpa orang tua suamiku. Itupun aku baru cium tangan bapak dan ibu mertua usai aku sah menjadi menantu beliau.
Akad nikah kami berlangsung sepekan setelah silaturahimnya si mas ikhwan. 30 Mei 2009 di rumah Ngawi, si mas ikhwan ditodong bapak untuk melamar anak gadisnya ini. Padahal agenda si mas ke rumah sebenarnya hanyalah bersilaturahim. Ingin mengenal keluarga calon istrinya. Jadilah suami waktu itu hanya datang seorang diri.
Berbekal proposal nikah dari suami dan diskusi antara aku dan bapak serta ibu, membulatkan tekad bapak dan ibu untuk menerima sang ikhwan. Kendati bapak dan ibu masih awam dalam hal agama. Namun telah lama aku sounding beliau soal pernikahan islami melalui taaruf dan keinginanku yang tak ingin berpacaran sebelum nikah.
Praktis hanya tersisa waktu 7 hari dari 'todongan' lamaran menuju akad nikah. Tak ada kunjungan resmi dari pihak laki-laki yang berada di Sidoarjo, sebab posisi suami yang berada di Jakarta, dan aku bekerja di Surabaya. Kami pun tak punya waktu untuk berkunjung ke rumah calon besan bapak dan ibu karena waktu kerjaku yang 3 shift di rumah sakit.
Tentunya ada campur tangan Allah yang menggerakkan hati-hati kami, terutama istikharahku dan terkhusus istikharah ibu. Masya Allah dari sejak aku dan adek masih SD ketika kami ada ujian, ibu selalu berpuasa dan memperbanyak tahajud. Jadi ketika ibu berkata bahwa beliau mantap dengan si mas, aku bersyukur kami sudah satu frekuensi.
Pada hari H akad nikah yang digelar pada pukul 19.00 WiB atau ba'da isya, sempat kudengar percakapan bapak dan ibu,
"Bapak ndak pakai beskap (baju adat formal dengan kain hitam berkerah tinggi yang biasanya disematkan semacam bros besar warna emas kekuningan yang memiliki rantai menjuntai ke sisi saku yang lain)?"
"Ndak usah bu, bapak besan Sidoarjo belum tentu memakai beskap juga, wong kita ga janjian pakai kan."
Akhirnya ibu dan bapak mengenakan batik hijau sarimbit. Yang ternyata bapak dan ibu mertua pun juga mengenakan batik.
Duh, padahal aku bisa berinisiatif meminjamkan beskap ke salon tempat aku dirias. Tapi ternyata pikiranku saat itu tidak sampai ke sana. Sudah heboh sendiri dengan detik-detik pergantian status lajangku menjadi seorang nyonya.
Sejak matahari kian condong di ufuk barat, aku diantar bapak ke salon ditemani oleh sahabatku di Ngawi. Lalu nanti dijemput ketika sudah selesai dirias.
Ternyata habis maghrib aku baru selesai urusan di salon. Sempat molor karena aku menolak model kerudung yang dimodel-model, hihi. Akhirnya aku bersikeras memakai kerudung dengan model keseharianku yang tanpa model punuk dan terulur ke dada.
Malu rasanya kalau sudah dirias sedemikian rupa, lalu kerudungnya harus ditarik ke atas dan menampakkan bagian yang selalu tertutupi dengan hijab. Malu juga pada calon suamiku beberapa menit lagi. Malu juga kalau sampai nanti suamiku pangling. Apalagi in sy Allah datang juga ustadz dan ustadzah yang menjadi fasilitator awal kami untuk melaksanakan taaruf.
Ah, entahlah. Rupa-rupa warnanya hatiku saat itu.
Begitu aku bersama sahabatku tiba di rumah, aku langsung diminta lewat pintu samping, sebab keluarga mas sudah datang di ruang tamu. Aku manut saja ketika digiring masuk ke ruang depan. Otomatis aku juga belum bisa salim pada kedua calon mertua.
Hmm, menjadi pengantin itu kadang tak mampu berfikir panjang lagi pada hal-hal sepele dan remeh-temeh.
Hingga tibalah saat akad, setelah keluarga mas suami datang setelah menunaikan sholat isya di masjid yang diminta agak jauh dari kediaman orang tuaku. Aku pun tak pahamlah maksud keluarga besar dengan hal ini. Selama tak merepotkan dan melanggar syariat aku masih bisa menerima.
Bapak menjabat erat tangan pemuda di depan beliau. Lalu ber-gladi resik-lah bapak dan mas suami.
Aku melihatnya tapi aku tertunduk. Malu tapi tak berdebar-debar. Malu tapi yakin in sya Allah berjalan lancar.
Lalu akad yang sebenarnya pun dibacakan. Bapak mengucap fasih tanpa salah. Dan mas suami pun juga.
Usai pengucapan akad, mas suami melantunkan surat Ar Rahman yang aku minta sebagai mahar. Jujur aku hanya ingin satu surat yang penuh sayang itu saja. Namun ibu menghendaki ada pelengkap alat sholat dan emas yang dirupakan cincin untuk kupakai. Dan mas pun menyanggupi waktu itu.
Aku merasa nyaman dengan suara tilawah mas, suara yang mantap dan merdu. Tidak terbata-bata, tidak bergetar dan tidak terlalu cepat. Tartil.
Bapak bagian administrasi KUA berkomentar, baru kali ini sepengalaman beliau ada mahar pembacaan ayat suci Alquran. Alhamdulillah semoga menjadi inspirasi.
"Sahh...!"
Alhamdulillah, kucium tangan suamiku tanpa rasa gemetar. Tanpa peluh dingin yang biasa membasahi tanganku saat nervous. Meski dalam hati deg-degan juga karena menggenggam tangan laki-laki yang sebelumnya belum menjadi halal untukku.
Barulah kemudian aku sungkem pada ibu bapak dan bapak ibu mertua. Juga terima kasih tak terhingga kepada umi dan putri semata wayang beliau yang juga menjadi inisator taaruf kami sebelum kami berproses taaruf. Masya Allah, semoga segala kebaikan untuk kami menempuh jalan cinta kami diberikan balasan rumah di syurga. Aamiin ya robbal alamiin.
Kusampaikan maaf dan terima kasih pada kedua orang tua dan juga mertua. Hwaaa... masya Allah, ingin rasanya aku berderai air mata. Betapa nikmat sekali momen ini.
Kami pun berbincang-bincang. Hingga tamu pun pulang. Lengang. Tinggallah para keluarga besar saja. Sebelum akhirnya semua dipersilahkan istirahat di hotel karena rumah bapak ibu tidak bisa menampung semua.
Lusa aku dan suami bertolak dari Ngawi menuju Sidoarjo, sebelum nanti kami berangkat ke Jakarta. Kota tempat suami mengabdi.
Sebelum melepas kami, ibu berkisah tentang masa awal beliau menikah, dan bapak berpesan agar aku menyayangi ibu mertua seperti ibu sendiri. Kalau aku bisa melakukannya, bapak mengacungkan kedua jempolnya.
Masya Allah, ketika berada di rumah suami, bapak dan ibu mertua menyambut kami tiada beda. Terutama ibu mertua, beliau menyayangiku persis perlakuannya kepada suami.
Dan yang begitu membuatku girang ialah, beliau berdua menceritakan padaku bagaimana anak laki-lakinya, bagaimana ketika suamiku tidak pernah pacaran (uhukk.. jadi akulah cinta pertamanya setelah ibunya), lalu berlanjut pada kisah pernikahan ibu dan bapak mertua.
Sayangnya, besoknya kami sudah harus meninggalkan rumah Sidoarjo menuju ibukota. Belum lengkap semua ceritanya. Dan belum sempat juga belajar masak ke ibu.
"Bu, mohon maaf nggih, menantu ibu ini ndak pinter masak."
"Owalah, nduk, gapapa.. nanti kapan-kapan kita belajar masak bareng ya."
Lalu berlanjut dengan list makanan kesukaan suami mulai dari semur tahu yang gampang, hingga ke masakan yang baruu kutemui di Sidoarjo yaitu pecel terong tapi tanpa kuah beda dengan yang dimasak ibu Madiun, keting atau sejenis ikan yang dibumbu kuning dengan bumbu yang khas di sana, ayam panggang yang enak sekali karena dipanggang sendiri.
"Sudah, gampanglah nanti, nduk.. kalau mau masakin mas dan ga tahu resepnya, tinggal telpon ibu aja." Kata bapak mertua.
Alhamdulillah, bersyukur mendapatkan mertua yang menyayangiku seperti anaknya sendiri.
"Le, kudu bisa saling menjaga ya. Sampeyan wes jadi imam. Sing apik-apik ke istri pean." begitu pesan ibu pada suami.
"Nduk, yang saling menjaga ya, sing sabar. Mas itu sayang banget ke nduk, lho.. apalagi nanti kalau nduk hamil. Waah in sya Allah makin disayang mas."
Duh..
"Aamiin.. in sya Allah mangke lebaran mudik ke sini, sudah ada calon cucunya bapak dan ibu." kata mas suami sambil mengerling padaku.
Dan in sya Allah kami akan melangsungkan resepsi di Ngawi pada 1 bulan lagi tepatnya, 17 Juli 2009. Dan sepertinya memang sudah konsepsi (pembuahan) ketika berlangsung resepsi kami. Tapi sengaja kupastikan biar terlambat dari jadwal haid. Dan alhamdulillah tepat pada hari lahirku, 25 Juli itu aku mendapat kado terindah dengan hadirnya suami dan juga calon anak pertama kami.
Alhamdulillaah, persis ketika mudik lebaran suami pun bilang pada ibunya, "bu, menantu njenengan ini sudah hamil cucu njenengan loh.. tambah cantik kan bu."
Masya Allah... Seneng dan menang banget si mas suami kalau berhasil menggodaku di hadapan ibu Madiun ataupun Ibu Sidoarjo.
"1-0 ya dek" katanya padaku.
"Cubit, nih!" kataku.
--------
Teriring segala rindu dan doa untuk bapak rahimahullah "Bapak, vi kangeen..terima kasih sudah mengantar anak gadismu ini menjadi istri dan ibu dari cucu-cucu bapak dan ibu..
Dan segenap doa dan sayang untuk ibu Madiun-Bapak dan Ibu Sidoarjo, semoga Allah selalu memberikan kesehatan dan kebahagiaan serta kesempatan bagi kami, anak-anak ibu dan bapak sekalian agar bisa memberikan dan membahagiakan serta membalas segala kebaikanmu pada kami.
Luv you all 💕
---------
Tulisan ini diikut sertakan dalam OWOW #oneweekonewriting #kelasminatmenulis Ibu Profesional Depok
Mencinta adalah proses mengaktifkan segenap sistem diri untuk melebur pada yang kita cinta (Viana Wahyu)
Bila ada yang bertemu mertua untuk pertama kali saat akad nikah, maka aku salah satunya.
Pada tanggal 6 bulan 6 tahun 2009 adalah momen pertama berjumpa orang tua suamiku. Itupun aku baru cium tangan bapak dan ibu mertua usai aku sah menjadi menantu beliau.
Akad nikah kami berlangsung sepekan setelah silaturahimnya si mas ikhwan. 30 Mei 2009 di rumah Ngawi, si mas ikhwan ditodong bapak untuk melamar anak gadisnya ini. Padahal agenda si mas ke rumah sebenarnya hanyalah bersilaturahim. Ingin mengenal keluarga calon istrinya. Jadilah suami waktu itu hanya datang seorang diri.
Berbekal proposal nikah dari suami dan diskusi antara aku dan bapak serta ibu, membulatkan tekad bapak dan ibu untuk menerima sang ikhwan. Kendati bapak dan ibu masih awam dalam hal agama. Namun telah lama aku sounding beliau soal pernikahan islami melalui taaruf dan keinginanku yang tak ingin berpacaran sebelum nikah.
Praktis hanya tersisa waktu 7 hari dari 'todongan' lamaran menuju akad nikah. Tak ada kunjungan resmi dari pihak laki-laki yang berada di Sidoarjo, sebab posisi suami yang berada di Jakarta, dan aku bekerja di Surabaya. Kami pun tak punya waktu untuk berkunjung ke rumah calon besan bapak dan ibu karena waktu kerjaku yang 3 shift di rumah sakit.
Tentunya ada campur tangan Allah yang menggerakkan hati-hati kami, terutama istikharahku dan terkhusus istikharah ibu. Masya Allah dari sejak aku dan adek masih SD ketika kami ada ujian, ibu selalu berpuasa dan memperbanyak tahajud. Jadi ketika ibu berkata bahwa beliau mantap dengan si mas, aku bersyukur kami sudah satu frekuensi.
Pada hari H akad nikah yang digelar pada pukul 19.00 WiB atau ba'da isya, sempat kudengar percakapan bapak dan ibu,
"Bapak ndak pakai beskap (baju adat formal dengan kain hitam berkerah tinggi yang biasanya disematkan semacam bros besar warna emas kekuningan yang memiliki rantai menjuntai ke sisi saku yang lain)?"
"Ndak usah bu, bapak besan Sidoarjo belum tentu memakai beskap juga, wong kita ga janjian pakai kan."
Akhirnya ibu dan bapak mengenakan batik hijau sarimbit. Yang ternyata bapak dan ibu mertua pun juga mengenakan batik.
Duh, padahal aku bisa berinisiatif meminjamkan beskap ke salon tempat aku dirias. Tapi ternyata pikiranku saat itu tidak sampai ke sana. Sudah heboh sendiri dengan detik-detik pergantian status lajangku menjadi seorang nyonya.
Sejak matahari kian condong di ufuk barat, aku diantar bapak ke salon ditemani oleh sahabatku di Ngawi. Lalu nanti dijemput ketika sudah selesai dirias.
Ternyata habis maghrib aku baru selesai urusan di salon. Sempat molor karena aku menolak model kerudung yang dimodel-model, hihi. Akhirnya aku bersikeras memakai kerudung dengan model keseharianku yang tanpa model punuk dan terulur ke dada.
Malu rasanya kalau sudah dirias sedemikian rupa, lalu kerudungnya harus ditarik ke atas dan menampakkan bagian yang selalu tertutupi dengan hijab. Malu juga pada calon suamiku beberapa menit lagi. Malu juga kalau sampai nanti suamiku pangling. Apalagi in sy Allah datang juga ustadz dan ustadzah yang menjadi fasilitator awal kami untuk melaksanakan taaruf.
Ah, entahlah. Rupa-rupa warnanya hatiku saat itu.
Begitu aku bersama sahabatku tiba di rumah, aku langsung diminta lewat pintu samping, sebab keluarga mas sudah datang di ruang tamu. Aku manut saja ketika digiring masuk ke ruang depan. Otomatis aku juga belum bisa salim pada kedua calon mertua.
Hmm, menjadi pengantin itu kadang tak mampu berfikir panjang lagi pada hal-hal sepele dan remeh-temeh.
Hingga tibalah saat akad, setelah keluarga mas suami datang setelah menunaikan sholat isya di masjid yang diminta agak jauh dari kediaman orang tuaku. Aku pun tak pahamlah maksud keluarga besar dengan hal ini. Selama tak merepotkan dan melanggar syariat aku masih bisa menerima.
Bapak menjabat erat tangan pemuda di depan beliau. Lalu ber-gladi resik-lah bapak dan mas suami.
Aku melihatnya tapi aku tertunduk. Malu tapi tak berdebar-debar. Malu tapi yakin in sya Allah berjalan lancar.
Lalu akad yang sebenarnya pun dibacakan. Bapak mengucap fasih tanpa salah. Dan mas suami pun juga.
Usai pengucapan akad, mas suami melantunkan surat Ar Rahman yang aku minta sebagai mahar. Jujur aku hanya ingin satu surat yang penuh sayang itu saja. Namun ibu menghendaki ada pelengkap alat sholat dan emas yang dirupakan cincin untuk kupakai. Dan mas pun menyanggupi waktu itu.
Aku merasa nyaman dengan suara tilawah mas, suara yang mantap dan merdu. Tidak terbata-bata, tidak bergetar dan tidak terlalu cepat. Tartil.
Bapak bagian administrasi KUA berkomentar, baru kali ini sepengalaman beliau ada mahar pembacaan ayat suci Alquran. Alhamdulillah semoga menjadi inspirasi.
"Sahh...!"
Alhamdulillah, kucium tangan suamiku tanpa rasa gemetar. Tanpa peluh dingin yang biasa membasahi tanganku saat nervous. Meski dalam hati deg-degan juga karena menggenggam tangan laki-laki yang sebelumnya belum menjadi halal untukku.
Barulah kemudian aku sungkem pada ibu bapak dan bapak ibu mertua. Juga terima kasih tak terhingga kepada umi dan putri semata wayang beliau yang juga menjadi inisator taaruf kami sebelum kami berproses taaruf. Masya Allah, semoga segala kebaikan untuk kami menempuh jalan cinta kami diberikan balasan rumah di syurga. Aamiin ya robbal alamiin.
Kusampaikan maaf dan terima kasih pada kedua orang tua dan juga mertua. Hwaaa... masya Allah, ingin rasanya aku berderai air mata. Betapa nikmat sekali momen ini.
Kami pun berbincang-bincang. Hingga tamu pun pulang. Lengang. Tinggallah para keluarga besar saja. Sebelum akhirnya semua dipersilahkan istirahat di hotel karena rumah bapak ibu tidak bisa menampung semua.
Lusa aku dan suami bertolak dari Ngawi menuju Sidoarjo, sebelum nanti kami berangkat ke Jakarta. Kota tempat suami mengabdi.
Sebelum melepas kami, ibu berkisah tentang masa awal beliau menikah, dan bapak berpesan agar aku menyayangi ibu mertua seperti ibu sendiri. Kalau aku bisa melakukannya, bapak mengacungkan kedua jempolnya.
Masya Allah, ketika berada di rumah suami, bapak dan ibu mertua menyambut kami tiada beda. Terutama ibu mertua, beliau menyayangiku persis perlakuannya kepada suami.
Dan yang begitu membuatku girang ialah, beliau berdua menceritakan padaku bagaimana anak laki-lakinya, bagaimana ketika suamiku tidak pernah pacaran (uhukk.. jadi akulah cinta pertamanya setelah ibunya), lalu berlanjut pada kisah pernikahan ibu dan bapak mertua.
Sayangnya, besoknya kami sudah harus meninggalkan rumah Sidoarjo menuju ibukota. Belum lengkap semua ceritanya. Dan belum sempat juga belajar masak ke ibu.
"Bu, mohon maaf nggih, menantu ibu ini ndak pinter masak."
"Owalah, nduk, gapapa.. nanti kapan-kapan kita belajar masak bareng ya."
Lalu berlanjut dengan list makanan kesukaan suami mulai dari semur tahu yang gampang, hingga ke masakan yang baruu kutemui di Sidoarjo yaitu pecel terong tapi tanpa kuah beda dengan yang dimasak ibu Madiun, keting atau sejenis ikan yang dibumbu kuning dengan bumbu yang khas di sana, ayam panggang yang enak sekali karena dipanggang sendiri.
"Sudah, gampanglah nanti, nduk.. kalau mau masakin mas dan ga tahu resepnya, tinggal telpon ibu aja." Kata bapak mertua.
Alhamdulillah, bersyukur mendapatkan mertua yang menyayangiku seperti anaknya sendiri.
"Le, kudu bisa saling menjaga ya. Sampeyan wes jadi imam. Sing apik-apik ke istri pean." begitu pesan ibu pada suami.
"Nduk, yang saling menjaga ya, sing sabar. Mas itu sayang banget ke nduk, lho.. apalagi nanti kalau nduk hamil. Waah in sya Allah makin disayang mas."
Duh..
"Aamiin.. in sya Allah mangke lebaran mudik ke sini, sudah ada calon cucunya bapak dan ibu." kata mas suami sambil mengerling padaku.
Dan in sya Allah kami akan melangsungkan resepsi di Ngawi pada 1 bulan lagi tepatnya, 17 Juli 2009. Dan sepertinya memang sudah konsepsi (pembuahan) ketika berlangsung resepsi kami. Tapi sengaja kupastikan biar terlambat dari jadwal haid. Dan alhamdulillah tepat pada hari lahirku, 25 Juli itu aku mendapat kado terindah dengan hadirnya suami dan juga calon anak pertama kami.
Alhamdulillaah, persis ketika mudik lebaran suami pun bilang pada ibunya, "bu, menantu njenengan ini sudah hamil cucu njenengan loh.. tambah cantik kan bu."
Masya Allah... Seneng dan menang banget si mas suami kalau berhasil menggodaku di hadapan ibu Madiun ataupun Ibu Sidoarjo.
"1-0 ya dek" katanya padaku.
"Cubit, nih!" kataku.
--------
Teriring segala rindu dan doa untuk bapak rahimahullah "Bapak, vi kangeen..terima kasih sudah mengantar anak gadismu ini menjadi istri dan ibu dari cucu-cucu bapak dan ibu..
Dan segenap doa dan sayang untuk ibu Madiun-Bapak dan Ibu Sidoarjo, semoga Allah selalu memberikan kesehatan dan kebahagiaan serta kesempatan bagi kami, anak-anak ibu dan bapak sekalian agar bisa memberikan dan membahagiakan serta membalas segala kebaikanmu pada kami.
Luv you all 💕
---------
Tulisan ini diikut sertakan dalam OWOW #oneweekonewriting #kelasminatmenulis Ibu Profesional Depok
Posting Komentar untuk "Orang Tua Kita, Surga Cinta Kita"