Dimensi Pena
Bismillaahi...
Sebuah tulisan untuk tema Aku, FLP dan dakwah kepenulisan
Dimensi Pena
Oleh Viana Wahyu
Mengapakah kisah Ibu Kartini lebih masyhur dan diperingati dibanding dengan kisah Laksamana Kemala Hayati yang gagah berani bertempur di medan laga ?
Pertanyaan itu mengusik hati saya ketika hampir sepuluh tahun ke belakang ikut dalam bedah film yang diadakan oleh FLP Surabaya. Lantas pembicara menjelaskan bahwa goresan pena kita lebih panjang untuk dikenang sejarah dibanding goresan pedang kita.
Keduanya sama tajamnya, namun tulisan yang terus menerus tertuang bisa jadi usianya lebih panjang dibanding usia yang menuliskannya. Mungkin saja tulisan itu tidak booming di jaman yang sama, tapi kita tak akan pernah tahu ending dari tulisan-tulisan kita saat ini di masa depan.
Jalan Panjang Mengenal FLP, 2000
Menyebut FLP Surabaya mau tak mau akhirnya membuka perjalanan saya mengenal FLP. Saya mengenal Forum Lingkar Pena yang legendaris ini sejak di bangku akhir SMP. Alhamdulillaah atas izin Allah hidayah itu turun ketika saya sedang masa-masa mencari jati diri sebagai remaja pada saat kelas 1 SMA.
Tulisan para penulis senior yang saya kenal lewat majalah Annida, manini Pipiet Senja, bunda Helvy Tiana Rosa, bunda Asma Nadia, mbak Syamsa Hawa, bang Iyus, mba Muthmainnah, mba Yeni Afifah Afra, om Gola Gong, dan para kru Annida di jaman edisi cetak waktu itu serta penulis-penulis hebat lainnya. Hingga saya yang berasal dari kota kecil, Ngawi tercinta, begitu surprised ketika akhirnya mengenal sosok mba M. Muttaqwiati yang keponakannya adalah teman sekolah saya ketika SMA. Dan akhirnya saya berkesempatan berbincang dengan beliau di sebuah acara keputrian di SMA kami karena kami berasal dari sekolah yang sama.
Keberadaan Annida dan FLP lewat penulis-penulisnya terutama novel-novel inspiratif yang hingga kini membekas dalam ingatan, ikut membersamai langkah saya dalam perjalanan hijrah. Pesantren Impian, Serial Aisyah, Ketika Mas Gagah Pergi, Akira-Muslim Watashiwa, Pingkan, Festival Syahadah, dan segala rupa cerpen-cerpen yang hadir di majalah Annida saat itu. Saya paling suka cerita epik dan tentu saja tokoh Annida dengan ujung kerudung berkibarnya.
Saya begitu termotivasi untuk bisa ikut menjadi bagian dari dunia sastra saat itu, yang membuat saya bersama salah dua sahabat saya yang sama-sama suka menulis iseng-iseng mengirimkan cerpen ke Annida. Sayangnya tak satupun dari cerpen kami yang dimuat saat itu, lalu nasib cerpen itu pun berputar di teman-teman sekelas kami.
Dan ketika perjalanan hidup saya dengan melabuhkan kota Surabaya sebagai tempat saya kuliah, di sanalah saya mencari FLP. Saya suka sekali ketika diajak kelas-kelas program FLP, hanya saja karena waktu paling sering diadakannya acara pada weekend, sedang jadual kuliah saya hingga jadual kerja saya berdasarkan sistem shift dan liburnya bukan selalu ketika weekend atau tanggal merah, maka saya sering melewatkan waktu belajar di FLP Surabaya.
Perjalanan pun berlanjut ke Jakarta hijrah bersama suami. Di sana saya ikut juga beberapa kali dengan acara FLP Jakarta sebelum akhirnya kami mendarat di Kota Depok. Namun situasi dan kondisi ternyata belum bisa berjodoh juga ikut acara-acara FLP Depok. Tapi semangat untuk terus menulis selalu digaungkan oleh manini Pipiet Senja yang alhamdulillaah ketika bertetangga di Depok benar-benar menebar teror menulis.
Istana Hati, 2019
Hal paling mendasar yang harus terus saya jaga dalam perjalanan hidup saya ialah ridho suami dan keberadaan keluarga. Bagi saya, kedua hal itulah yang menjadi misi utama saya diciptakan sebagai perempuan. Dan ketika jalan hidup saya sampai pada peran menjadi seorang istri dan bunda, maka misi saya dalam kehidupan dan visi saya berubah dibanding ketika saya berlari-lari mengejar impian saat gadis dulu.
Warna-warna passion saya yang salah satunya menulis ini harus dan mutlak tidak boleh melupakan kewajiban saya, begitu kesepakatan saya ketika menyampaikan keinginan kembali bergabung belajar dengan FLP. Dan yang penting semua yang kami ambil, yang kami lakukan, yang kami tekuni harus menjadi manfaat dengan sedikit ilmu-ilmu kami, begitu tekad saya dan suami.
Saya ingin mengambil bagian dari kisah hidup bunda Khadijah ra yang aktif di ranah publik namun ketika Rasulullah menjadi suaminya, ia hormat dan taat padanya hingga Allah berkenan menitipkan salam untuknya. Juga mengambil bagian dari kisah Aisyah ra yang meskipun tidak mengenal sosmed namun keilmuan yang diwarisinya dari Rasulullaah benar-benar menjadi muara ilmu lintas masa. Keduanya adalah tokoh perempuan inspiratif bagi saya.
Samudera Pertiwi, 2019
Kemunculan FLP pada 22 Februari 1997 hingga terus bertahan sampai saat ini benar seperti disampaikan oleh Bapak Taufiq Ismail, FLP adalah hadiah Tuhan untuk Indonesia. Jika dulu media untuk tulisan-tulisan itu melalui majalah Annida dan novel islami yang memorable. Kita sekarang berada di jaman milenial yang semakin mudah akses untuk mendapatkan informasi dan edukasi serta inspirasi dari tulisan-tulisan para penulis mulai dari yang receh hingga yang berbobot penuh ilmu. Para penulis Indonesia pun beranak pinak sangat banyak dan produktif.
Seiring lalu lintas media daring yang semakin touchable ternyata realita minat baca di Indonesia menempati peringkat ke-60 dari 61 negara (Muh Syarif Bando, kepala Perpustakaan Nasional) berdasarkan studi pada tahun 2016. Arus informasi dunia saat ini hanya seperti kedipan mata yang akhinya membuat kebaikan kian dipertaruhkan karena disibukkan oleh kenyamanan teknologi, kurangnya mengkaji ilmu agama, dan hembusan informasi yang tidak bertanggung jawab. Anak jaman sekarang sudah berbeda dengan jaman ketika saya mengenal Annida. Sebuah Pe-eR besar bagi para penulis Indonesia untuk bisa memajukan pena dan menggugah kesadaran bangsa kita terutama anak-anak dan remaja kita untuk mencintai buku, mencintai membaca dan pada akhirnya mencintai menulis dalam koridor keislaman dan kebaikan.
Insya Allah, FLP bisa terus mengikuti rotasi pena dunia. Ada diksi sakti yang saya yakin bisa menjadi ketahanan kokohnya FLP yaitu pada kata “lingkar”. Lingkar yang bisa bermakna dinamis karena terus berputar, dan lingkar sebagai makna kebersamaan dalam lingkaran persaudaraan, lingkaran ukhuwah dan lingkaran persatuan Indonesia.
Menulis itu melembutkan hati, cahaya ilmu akan masuk ke dalam hati. Yang lantas menyeret saya untuk bernostalgia pada kisah Annida, yang dalam namanya mengandung arti perkataan yang lembut, terinspirasi dari tafsir Surat Maryam ayat 3, “yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut.”
Meski hanya tinggal jejak, Annida masih tetap berada dalam ingatan anak-anak angkatan saya. Semoga sejarah itu menjadi motivasi saya dan kita semua agar membumikan pena, mengajak anak-anak suka membaca dan menulis, menulis ilmu yang kita miliki serta membantu memfasilitasi tulisan-tulisan yang baik agar semakin luas jangkauan manfaatnya dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, agar semuanya menjadi amal jariyah salah satunya dengan belajar di gerbong FLP.
Sebagai perempuan semua hal itu tak lepas dari sebuah langkah pertama dari rumah. Rumah kita masing-masing dengan peran fitrah kita bersama pendamping dan anak-anak serta peran sosial kita sesuai kompetensi keilmuan dan passion kita. Mari menulis !
Sejarah kita tidak ditulis dari halaman belakang, tapi dimulai sejak kita belum bisa memegang pena pada halaman muka. Maka tuliskan ending sejarah kita dengan kayuhan-kayuhan mimpi dan doa kita hari ini. Kelak, sejarah itu yang akan bercerita pada dunia. Bukan untukmu tapi untuk anak-anak dari cucu-cucumu...
----vVv----
Refferensi
https://flpkita.wordpress.com
https://m.republika.co.id
google : sejarah majalah Annida
Sebuah tulisan untuk tema Aku, FLP dan dakwah kepenulisan
Dimensi Pena
Oleh Viana Wahyu
Mengapakah kisah Ibu Kartini lebih masyhur dan diperingati dibanding dengan kisah Laksamana Kemala Hayati yang gagah berani bertempur di medan laga ?
Pertanyaan itu mengusik hati saya ketika hampir sepuluh tahun ke belakang ikut dalam bedah film yang diadakan oleh FLP Surabaya. Lantas pembicara menjelaskan bahwa goresan pena kita lebih panjang untuk dikenang sejarah dibanding goresan pedang kita.
Keduanya sama tajamnya, namun tulisan yang terus menerus tertuang bisa jadi usianya lebih panjang dibanding usia yang menuliskannya. Mungkin saja tulisan itu tidak booming di jaman yang sama, tapi kita tak akan pernah tahu ending dari tulisan-tulisan kita saat ini di masa depan.
Jalan Panjang Mengenal FLP, 2000
Menyebut FLP Surabaya mau tak mau akhirnya membuka perjalanan saya mengenal FLP. Saya mengenal Forum Lingkar Pena yang legendaris ini sejak di bangku akhir SMP. Alhamdulillaah atas izin Allah hidayah itu turun ketika saya sedang masa-masa mencari jati diri sebagai remaja pada saat kelas 1 SMA.
Tulisan para penulis senior yang saya kenal lewat majalah Annida, manini Pipiet Senja, bunda Helvy Tiana Rosa, bunda Asma Nadia, mbak Syamsa Hawa, bang Iyus, mba Muthmainnah, mba Yeni Afifah Afra, om Gola Gong, dan para kru Annida di jaman edisi cetak waktu itu serta penulis-penulis hebat lainnya. Hingga saya yang berasal dari kota kecil, Ngawi tercinta, begitu surprised ketika akhirnya mengenal sosok mba M. Muttaqwiati yang keponakannya adalah teman sekolah saya ketika SMA. Dan akhirnya saya berkesempatan berbincang dengan beliau di sebuah acara keputrian di SMA kami karena kami berasal dari sekolah yang sama.
Keberadaan Annida dan FLP lewat penulis-penulisnya terutama novel-novel inspiratif yang hingga kini membekas dalam ingatan, ikut membersamai langkah saya dalam perjalanan hijrah. Pesantren Impian, Serial Aisyah, Ketika Mas Gagah Pergi, Akira-Muslim Watashiwa, Pingkan, Festival Syahadah, dan segala rupa cerpen-cerpen yang hadir di majalah Annida saat itu. Saya paling suka cerita epik dan tentu saja tokoh Annida dengan ujung kerudung berkibarnya.
Saya begitu termotivasi untuk bisa ikut menjadi bagian dari dunia sastra saat itu, yang membuat saya bersama salah dua sahabat saya yang sama-sama suka menulis iseng-iseng mengirimkan cerpen ke Annida. Sayangnya tak satupun dari cerpen kami yang dimuat saat itu, lalu nasib cerpen itu pun berputar di teman-teman sekelas kami.
Dan ketika perjalanan hidup saya dengan melabuhkan kota Surabaya sebagai tempat saya kuliah, di sanalah saya mencari FLP. Saya suka sekali ketika diajak kelas-kelas program FLP, hanya saja karena waktu paling sering diadakannya acara pada weekend, sedang jadual kuliah saya hingga jadual kerja saya berdasarkan sistem shift dan liburnya bukan selalu ketika weekend atau tanggal merah, maka saya sering melewatkan waktu belajar di FLP Surabaya.
Perjalanan pun berlanjut ke Jakarta hijrah bersama suami. Di sana saya ikut juga beberapa kali dengan acara FLP Jakarta sebelum akhirnya kami mendarat di Kota Depok. Namun situasi dan kondisi ternyata belum bisa berjodoh juga ikut acara-acara FLP Depok. Tapi semangat untuk terus menulis selalu digaungkan oleh manini Pipiet Senja yang alhamdulillaah ketika bertetangga di Depok benar-benar menebar teror menulis.
Istana Hati, 2019
Hal paling mendasar yang harus terus saya jaga dalam perjalanan hidup saya ialah ridho suami dan keberadaan keluarga. Bagi saya, kedua hal itulah yang menjadi misi utama saya diciptakan sebagai perempuan. Dan ketika jalan hidup saya sampai pada peran menjadi seorang istri dan bunda, maka misi saya dalam kehidupan dan visi saya berubah dibanding ketika saya berlari-lari mengejar impian saat gadis dulu.
Warna-warna passion saya yang salah satunya menulis ini harus dan mutlak tidak boleh melupakan kewajiban saya, begitu kesepakatan saya ketika menyampaikan keinginan kembali bergabung belajar dengan FLP. Dan yang penting semua yang kami ambil, yang kami lakukan, yang kami tekuni harus menjadi manfaat dengan sedikit ilmu-ilmu kami, begitu tekad saya dan suami.
Saya ingin mengambil bagian dari kisah hidup bunda Khadijah ra yang aktif di ranah publik namun ketika Rasulullah menjadi suaminya, ia hormat dan taat padanya hingga Allah berkenan menitipkan salam untuknya. Juga mengambil bagian dari kisah Aisyah ra yang meskipun tidak mengenal sosmed namun keilmuan yang diwarisinya dari Rasulullaah benar-benar menjadi muara ilmu lintas masa. Keduanya adalah tokoh perempuan inspiratif bagi saya.
Samudera Pertiwi, 2019
Kemunculan FLP pada 22 Februari 1997 hingga terus bertahan sampai saat ini benar seperti disampaikan oleh Bapak Taufiq Ismail, FLP adalah hadiah Tuhan untuk Indonesia. Jika dulu media untuk tulisan-tulisan itu melalui majalah Annida dan novel islami yang memorable. Kita sekarang berada di jaman milenial yang semakin mudah akses untuk mendapatkan informasi dan edukasi serta inspirasi dari tulisan-tulisan para penulis mulai dari yang receh hingga yang berbobot penuh ilmu. Para penulis Indonesia pun beranak pinak sangat banyak dan produktif.
Seiring lalu lintas media daring yang semakin touchable ternyata realita minat baca di Indonesia menempati peringkat ke-60 dari 61 negara (Muh Syarif Bando, kepala Perpustakaan Nasional) berdasarkan studi pada tahun 2016. Arus informasi dunia saat ini hanya seperti kedipan mata yang akhinya membuat kebaikan kian dipertaruhkan karena disibukkan oleh kenyamanan teknologi, kurangnya mengkaji ilmu agama, dan hembusan informasi yang tidak bertanggung jawab. Anak jaman sekarang sudah berbeda dengan jaman ketika saya mengenal Annida. Sebuah Pe-eR besar bagi para penulis Indonesia untuk bisa memajukan pena dan menggugah kesadaran bangsa kita terutama anak-anak dan remaja kita untuk mencintai buku, mencintai membaca dan pada akhirnya mencintai menulis dalam koridor keislaman dan kebaikan.
Insya Allah, FLP bisa terus mengikuti rotasi pena dunia. Ada diksi sakti yang saya yakin bisa menjadi ketahanan kokohnya FLP yaitu pada kata “lingkar”. Lingkar yang bisa bermakna dinamis karena terus berputar, dan lingkar sebagai makna kebersamaan dalam lingkaran persaudaraan, lingkaran ukhuwah dan lingkaran persatuan Indonesia.
Menulis itu melembutkan hati, cahaya ilmu akan masuk ke dalam hati. Yang lantas menyeret saya untuk bernostalgia pada kisah Annida, yang dalam namanya mengandung arti perkataan yang lembut, terinspirasi dari tafsir Surat Maryam ayat 3, “yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut.”
Meski hanya tinggal jejak, Annida masih tetap berada dalam ingatan anak-anak angkatan saya. Semoga sejarah itu menjadi motivasi saya dan kita semua agar membumikan pena, mengajak anak-anak suka membaca dan menulis, menulis ilmu yang kita miliki serta membantu memfasilitasi tulisan-tulisan yang baik agar semakin luas jangkauan manfaatnya dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, agar semuanya menjadi amal jariyah salah satunya dengan belajar di gerbong FLP.
Sebagai perempuan semua hal itu tak lepas dari sebuah langkah pertama dari rumah. Rumah kita masing-masing dengan peran fitrah kita bersama pendamping dan anak-anak serta peran sosial kita sesuai kompetensi keilmuan dan passion kita. Mari menulis !
Sejarah kita tidak ditulis dari halaman belakang, tapi dimulai sejak kita belum bisa memegang pena pada halaman muka. Maka tuliskan ending sejarah kita dengan kayuhan-kayuhan mimpi dan doa kita hari ini. Kelak, sejarah itu yang akan bercerita pada dunia. Bukan untukmu tapi untuk anak-anak dari cucu-cucumu...
----vVv----
Refferensi
https://flpkita.wordpress.com
https://m.republika.co.id
google : sejarah majalah Annida
Posting Komentar untuk "Dimensi Pena"