POLIGAMI, MADU YANG TIDAK SELALU MANIS
Sukses terhebat dalam hidupmu adalah ketika kamu mampu menyatukan
keinginanmu dan keinginan-keinginan istrimu (Dr. Mustafa As-Siba’i)
Saat
mendengar kata poligami entah kenapa selalu mengingatkan saya pada sebuah
permainan yang beda sedikit dengan poligami, yakni monopoli. Hehe meski tentu
saja artinya beda jauh namun di sana ada persamaan, yaitu adanya seseorang yang
mendominasi karena kekuatannya, kehebatannya dan kemampuannya. Perbedaannya tentu
saja poligami dilakukan oleh laki-laki (kalau pelakunya perempuan maka
poliandri), sedang monopoli bisa dilakukan oleh laki-laki atau perempuan,
bahkan anak-anak. Ini murni pendapat saya :)
Bagi
saya, monogami itu sebuah pertanggung jawaban yang luar biasa atas sebuah rasa
cinta yang hakiki. Kadang kita boleh menilai pasangan kita banyak kekurangan
yang mengakibatkan kita melegalkan kata poligami atas dasar kekurangan pasangan
(dalam hal ini istri). Kalau saya menilai ketika kita memilih poligami dengan
menghadirkan madu dalam biduk rumah tangga yang awalnya merupakan perjanjian
dengan saksi Allah antara satu suami dan satu istri, kebanyakan akan malah
menimbulkan luka pada istri bahkan tak jarang berujung pada perceraian. Kalaupun
toh ada kekurangan istri maka kelebihan pada suaminya lah yang menjadi penutup
kekurangan itu.
Sebut
saja jika istri memiliki sebuah penyakit yang memerlukan ketelatenan untuk
merawat, apakah bijak jika di awal nikah
sang suami menyatakan akan menjaga sepenuh cinta lalu karena setelah menikah
ternyata sang istri sakit lalu menduakannya? Saya rasa hal itu jarang terjadi
pada perempuan yang memiliki suami dengan penyakit atau kekurangan. Adanya ujian
kekurangan pada pasangan itu bisa menjadi bukti eksistensi cinta dalam
pernikahan itu sendiri. Apakah cinta akan hilang atau menjadi bercabang dua,
tiga atau empat dengan adanya ujian tersebut atau tetap setia dengan satu
istri. Adanya ujian juga menjadi cermin visi dari pernikahan itu sendiri,
apakah tulus suci karena Allah atau karena dunia dan seisinya yang hanya sebuah
amanah? Misalnya jika ternyata setelah menikah pasangan itu diuji tak/ belum
memiliki anak, apakah itu terus berarti legal untuk alasan poligami?
Sebuah
pernikahan yang didasari cinta dari Sang Maha Agung tak akan melihat dari sisi
dunia. Sebab adanya pernikahan itu untuk menyempurnakan bukan untuk menyakiti. Tak
ada manusia yang sempurna. Kalau alasan terbanyak karena perempuan yang
dianggap tak bisa memberikan anak, sudahkah kita merenungi bahwa anak bukan
diberikan oleh istri tapi diberikan oleh Allah? Istri hanyalah sebagai sarana ‘perpanjangan
tangan’ Allah untuk memberikan anak. Nabi Ibrahim dan Bunda Hajar baru
dikaruniai anak ketika keduanya telah lanjut usia (dalam sebuah sumber ketika
Nabi Ibrahim berusia 90 tahun). Kalau pernikahan yang kita inginkan hanya
bervisi memiliki anak maka jika tak ada anak maka pernikahan itu bisa bubar. Hanya
seorang laki-laki yang setia dan sabar serta ikhlas mencintai perempuan yang
menjadi istrinya ketika ternyata apa yang diharapakannya tak dikabulkan oleh
Allah.
Kita hanya akan
mendapatkan apa yang kita inginkan terhadap dunia, yakni harta atau kedudukan atau keelokan rupa jika kita hanya
memupuk rasa terhadap dunia. Kita bisa mendapatkan lebih dari itu jika kita
mengharap ridho Allah semata.
Poligami itu
sunah, sama halnya dengan monogami. Bukan lantas karena sunah maka seseorang
(laki-laki) yang telah menikah maka disunahkan pula untuk bermain monopoli, eh
poligami. Sebab sebuah sunah tidak selayaknya jika mengakibatkan adanya korban
atau pihak yang terdzalimi dari pelaksanaan sunah tersebut. Korban di sini
maksudnya, istri pertama (atau istri kedua, ketiga, hehe yang akan mempunyai
madu), anak-anak hasil pernikahan sebelum sang pelaku memutuskan untuk
berpoligami.
Sudah
fitrah jika seorang perempuan itu tempatnya cemburu, dan hal ini sebaiknya
dipertimbangkan bagi kaum laki-laki yang (ingin) melakukan poligami. Sebuah kisah
Rasulullah yang lebih membela hati Fatimah yang cemburu dan marah ketika Ali ra
telah meminang istri tanpa pertimbangan Fatimah. Ini berarti seorang Fatimah
yang dididik oleh manusia luar biasa yakni Rasulullah pun juga perempuan biasa.
Ia memiliki rasa cemburu dan ketidakrelaan ketika suaminya menikah lagi di saat
dirinya masih hidup.
Bahkan
andai laki-laki yang berniat melaksanakan poligami menilik lebih jauh sejarah
Rasulullah, bahwa Rasulullah 15 tahun menikah dengan Khadijah dan 10 tahun
melakukan poligami. Bukankah Rasulullah pun juga amat menjaga cinta sejatinya
dengan bunda Khadijah dan tidak menduakannya dengan wanita manapun dengan
rentang yang lebih lama dibandingkan dengan masa beliau melakukan poligami.
Bukan
karena sesama perempuan maka saya akan berkata bahwa, perempuanlah makhluk
paling kuat namun paling tawadhu’ di dunia. Rasa sakit yang menjadikan ia
sebagai perempuan yang utuh dengan menjalani sakitnya haid, payahnya saat
hamil, melahirkan dan menyusui tetap menjadikan ia tunduk pada titah Tuhannya
lewat seorang suami. Namun segala ketangguhan dalam kelembutan yang perempuan
miliki membatasi dirinya jika ingin menyejajarkan diri dengan laki-laki untuk
berpoliandri. Bukannya membicarakan tentang ketidaksejajaran gender dalam hal
melakukan poligami/andri melainkan karena syariat yang membatasi karena ingin
menjaga perempuan. Sebab perempuan itu
adalah berasal dari tulang rusuk kaum adam yang berada dekat dengan hati, bukan
berasal dari bagian kepala yang untuk ditakuti kaum lelaki atau berasal dari
kaki untuk diinjak kaum lelaki. Perempuan itu untuk dijaga dan ditempatkan di
tempat yang paling indah, yakni di hati dengan tumpahan cinta yang setia. :)
Ehm, kalaupun ada yang menduakannya
atau menjadikannya madu sebaiknya jangan sampai menyakiti tulang rusuk yang
telah ikhlas menjadi pendamping selama ini. Namun jika setia menjaga satu hati
yang lembut itu bukan menjadi alasan ketidak sempurnaan sebuah ibadah jika
hanya karena Allah semata. Bahkan bisa jadi satu-satunya istri bisa lebih
cantik dari bidadari di surga.
Bumi Depok, 23-6-2012
:: viana ::
Tulisan ini diikutkan dalam lomba bagi-bagi buku "Gado-gado Poligami" Leyla Hana di http://www.leylahana.blogspot.com/2012/05/bagi-bagi-buku-lagi-lagi-poligami.html#comment-form
Posting Komentar untuk "POLIGAMI, MADU YANG TIDAK SELALU MANIS"