Pena = indera keenam (?)
Bismillah
Pernahkah berfikir tulisan kita akan menjadi kenyataan di masa yang akan datang? Atau pena yang kita pakai untuk menggoreskan segala rasa dan logika adalah 'indera keena'm kita? Atau tanpa kita sadari kita adalah 'peramal' masa depan kita sendiri (atau orang lain) ?
MENGENAL JAHITAN KATA
Awalnya aku sekedar menulis gejolak rasa semasa dunia SMA yang berbunga-bunga dengan membuat cerpen yang tentu saja masih picisan dan sangat-sangat tidak sesuai eyd dan kaidah penulisan cerpen. Ada sahabat sma yang membuatku semangat menulis, dan salah satu di antaranya 'menantang' bahwa dalam setiap kurun yang kami sepakati, kami harus bisa menghasilkan cerpen dan nantinya akan dibaca teman-teman sekelas dengan cara kertasnya berpindah tangan ke tangan.
Waktu itu tak kenal facebook tapi sudah kenal majalah Annida (tahun 2001 gitu loh) jadi media berkomen teman-teman ada di bawah cerpen yang aku buat. Cerpennya pun aku tulis tangan di kertas folio yang biasanya untuk mengerjakan laporan pembukuan. Senang rasanya ada apresiasi pada tulisan amatiranku. Hingga tak disangka-sangka aku diikutkan lomba menulis cerpen bersama sahabat-sahabat yang suka menulis tadi oleh pihak sekolah. Aih, bangganya waktu itu...meski tak menang :) plus sudah punya nama pena, loh (meski nama ini pun juga sekedar temuan lamunan sang abg). Dan hanya dua kali saja rasanya aku mengirim cerpen ke Annida, hihi.
PETAKA YANG BERUJUNG MUSEUM
Mengerikan sebenarnya menyebut petaka, namun ada hal yang membuatku berhenti menulis, khususnya menulis cerpen (untuk diary aku masih setia menulisinya). Tokoh-tokoh fiksi yang kutuliskan beneran kutemukan kejadiannya di dunia nyata. Sebut saja A yang kupinjam karakter dan segala yang melekat di dirinya, ia kujalankan dengan alur cerpenku, dan hanya kuasaNya, aku mendapati A mengalami kejadian yang kutuliskan di cerpen! Dan itu berulang dengan cerpen-cerpenku yang lain.
Ini tentu saja mengejutkan dan mengerikan buatku. Aku sama sekali tak berfikir bahwa kejadian khayalan yang kutuliskan akan menjadi kenyataan. Aku takut, takut sekali karena didera rasa bersalah karena menyebabkan sesuatu yang terlintas dalam fikiranku menimpa pada tokohku, dan tokohku itu adalah kebanyakan teman-temanku. Aku tak ingin mencelakakan orang lain. (Ya Allah, ampuni aku...semua tak lepas dari kehendak dan kuasaMu)
Hingga aku benar-benar gulung tikar, menyimpan cerpen-cerpen tulisan tanganku ke dalam lemari (yang akhirnya tenggelam saat Ngawi terkena banjir tahun 2007) dan memutuskan berhenti menulis rekaan. Aku hanya menjadi penikmat karya, seperti tulisan di Annida atau Tarbawi atau bahkan cerpen di Jawa Pos yang kadang menggelitikku memunculkan ide usai membaca setiap tulisan di dalamnya. Sampai aku kuliah di kampus kebidanan yang menyita semua waktuku dengan hanya untuk menulis laporan-laporan kebidanan dengan tulisan tangan. Tak ada lagi Annida atau cerpen-cerpen di media yang bisa kunikmati. Benar-benar masuk dunia yang tak kenal pena selain untuk nulis laporan, karena penaku terkalahkan oleh jarum suntik :)
MEMANTIK PENA YANG TERPENDAM DI MUSEUM
Baru saat aku kenal dunia blog pada 2007 aku kembali menulis, namun bukan cerpen. Hanya puisi atau reportase yang kukaitkan dengan banyak hal. Terutama dunia medis yang ternyata sangat luas untuk ditulis, meski aku tak mampu menuliskan semuanya. Dan, saat aku menjadi seorang bunda di tahun 2010 aku berani ikut audisi menulis dan alhamdulillah beberapa lolos meski beberapa gagal. Itupun bukan cerpen, hanya tulisan tentang kejadian pencerahan atau antologi kisah nyata berhikmah.
Hingga aku terseret pada sebuah sekolah menulis yang sangat menyenangkan di grup facebook, dengan teman-teman yang menyenangkan dan khususnya guru serta kepsek yang disiplin tapi selalu membuatku terlecut. Aku akhirnya tertarik lagi untuk menulis cerpen (Horee, sebuah kemajuan menurutku). Namun lewat seorang penulis sangat senior aku mendapat pesan bahwa apa yang kita tuliskan harus yang mencerahkan. Sebab beliau sendiri ternyata juga mengalami kejadian yang menjadi nyata dari rekaannya. Dan kejadian yang menjadi nyata itu sungguh pahit, sangat pahit yang beliau sendiri saja sungguh tak pernah berfikir hal itu akan menimpanya kini dari sejak abg beliau sering menuliskannya.
Bahkan aku sendiri kaget ketika apapun yang berkenaan dengan jodohku, lahir dari tulisanku di diary saat aku masih kuliah :) Aku pernah menuliskan sebuah kisah lakon hidup yang kualami saat bertemu dengan seorang laki-laki. Aku tuliskan sebuah do'a di akhir tulisan. Lantas menulis apa saja kriteriaku, kapan aku ingin menikah juga di diaryku..dan aku selalu mengulang-ulang apa yang telah kutulis dalam doaku. Subhanallah, semuanya menjadi nyata! Bahkan suamiku adalah laki-laki yang kutuliskan kisahnya denganku dan kusisipkan doa dalam kisah itu.
Maka, setiap menulis apapun itu kini aku selalu berdoa bahkan sebelumnya sholat terlebih dahulu agar Allah membimbing tanganku menarikan penaku. Jika apa yang kita ucapkan bahkan hanya kita batin dalam hati saja 'dianggap' Allah sebagai sebuah do'a apatah lagi yang kita tuliskan? Bukankah ada hadits yang intinya jika kita ingin mengubah sebuah kemungkaran adalah dengan lisan, tangan atau hati kita; dan dengan hati itulah selemah-lemahnya iman.
Aku menyimpulkan hadits di atas (dengan segala keterbatasanku) bahwa tulisan kita bisa diartikan 'tangan' kita untuk mengubah sesuatu. Tentu saja ada kuasa Allah di dalamnya untuk menjadikan tulisan kita menjadi nyata atau tidak. Bukankah pula setiap amalan kita yang menjadikan ilham kebajikan bagi orang lain adalah amal jariyah yang tak pernah putus? Bahkan bisa jadi kelak para penulis tak menyangka bahwa pahalanya akan berlipat demikian banyak oleh karena tulisannya menggerakkan banyak orang beramal salih atau malah sebaliknya.
Kita tak pernah tahu apa skenario Allah di balik skenario-skenario yang kita tuliskan. Bisa jadi tulisan yang kita beri tanggal sekian tahun lalu akan menjadi nyata di masa kini. Maka, menulislah yang mencerahkan orang lain :)
Kota Idaman, 01 April 2012 : ba'da isya
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Pernahkah berfikir tulisan kita akan menjadi kenyataan di masa yang akan datang? Atau pena yang kita pakai untuk menggoreskan segala rasa dan logika adalah 'indera keena'm kita? Atau tanpa kita sadari kita adalah 'peramal' masa depan kita sendiri (atau orang lain) ?
MENGENAL JAHITAN KATA
Awalnya aku sekedar menulis gejolak rasa semasa dunia SMA yang berbunga-bunga dengan membuat cerpen yang tentu saja masih picisan dan sangat-sangat tidak sesuai eyd dan kaidah penulisan cerpen. Ada sahabat sma yang membuatku semangat menulis, dan salah satu di antaranya 'menantang' bahwa dalam setiap kurun yang kami sepakati, kami harus bisa menghasilkan cerpen dan nantinya akan dibaca teman-teman sekelas dengan cara kertasnya berpindah tangan ke tangan.
Waktu itu tak kenal facebook tapi sudah kenal majalah Annida (tahun 2001 gitu loh) jadi media berkomen teman-teman ada di bawah cerpen yang aku buat. Cerpennya pun aku tulis tangan di kertas folio yang biasanya untuk mengerjakan laporan pembukuan. Senang rasanya ada apresiasi pada tulisan amatiranku. Hingga tak disangka-sangka aku diikutkan lomba menulis cerpen bersama sahabat-sahabat yang suka menulis tadi oleh pihak sekolah. Aih, bangganya waktu itu...meski tak menang :) plus sudah punya nama pena, loh (meski nama ini pun juga sekedar temuan lamunan sang abg). Dan hanya dua kali saja rasanya aku mengirim cerpen ke Annida, hihi.
PETAKA YANG BERUJUNG MUSEUM
Mengerikan sebenarnya menyebut petaka, namun ada hal yang membuatku berhenti menulis, khususnya menulis cerpen (untuk diary aku masih setia menulisinya). Tokoh-tokoh fiksi yang kutuliskan beneran kutemukan kejadiannya di dunia nyata. Sebut saja A yang kupinjam karakter dan segala yang melekat di dirinya, ia kujalankan dengan alur cerpenku, dan hanya kuasaNya, aku mendapati A mengalami kejadian yang kutuliskan di cerpen! Dan itu berulang dengan cerpen-cerpenku yang lain.
Ini tentu saja mengejutkan dan mengerikan buatku. Aku sama sekali tak berfikir bahwa kejadian khayalan yang kutuliskan akan menjadi kenyataan. Aku takut, takut sekali karena didera rasa bersalah karena menyebabkan sesuatu yang terlintas dalam fikiranku menimpa pada tokohku, dan tokohku itu adalah kebanyakan teman-temanku. Aku tak ingin mencelakakan orang lain. (Ya Allah, ampuni aku...semua tak lepas dari kehendak dan kuasaMu)
Hingga aku benar-benar gulung tikar, menyimpan cerpen-cerpen tulisan tanganku ke dalam lemari (yang akhirnya tenggelam saat Ngawi terkena banjir tahun 2007) dan memutuskan berhenti menulis rekaan. Aku hanya menjadi penikmat karya, seperti tulisan di Annida atau Tarbawi atau bahkan cerpen di Jawa Pos yang kadang menggelitikku memunculkan ide usai membaca setiap tulisan di dalamnya. Sampai aku kuliah di kampus kebidanan yang menyita semua waktuku dengan hanya untuk menulis laporan-laporan kebidanan dengan tulisan tangan. Tak ada lagi Annida atau cerpen-cerpen di media yang bisa kunikmati. Benar-benar masuk dunia yang tak kenal pena selain untuk nulis laporan, karena penaku terkalahkan oleh jarum suntik :)
MEMANTIK PENA YANG TERPENDAM DI MUSEUM
Baru saat aku kenal dunia blog pada 2007 aku kembali menulis, namun bukan cerpen. Hanya puisi atau reportase yang kukaitkan dengan banyak hal. Terutama dunia medis yang ternyata sangat luas untuk ditulis, meski aku tak mampu menuliskan semuanya. Dan, saat aku menjadi seorang bunda di tahun 2010 aku berani ikut audisi menulis dan alhamdulillah beberapa lolos meski beberapa gagal. Itupun bukan cerpen, hanya tulisan tentang kejadian pencerahan atau antologi kisah nyata berhikmah.
Hingga aku terseret pada sebuah sekolah menulis yang sangat menyenangkan di grup facebook, dengan teman-teman yang menyenangkan dan khususnya guru serta kepsek yang disiplin tapi selalu membuatku terlecut. Aku akhirnya tertarik lagi untuk menulis cerpen (Horee, sebuah kemajuan menurutku). Namun lewat seorang penulis sangat senior aku mendapat pesan bahwa apa yang kita tuliskan harus yang mencerahkan. Sebab beliau sendiri ternyata juga mengalami kejadian yang menjadi nyata dari rekaannya. Dan kejadian yang menjadi nyata itu sungguh pahit, sangat pahit yang beliau sendiri saja sungguh tak pernah berfikir hal itu akan menimpanya kini dari sejak abg beliau sering menuliskannya.
Bahkan aku sendiri kaget ketika apapun yang berkenaan dengan jodohku, lahir dari tulisanku di diary saat aku masih kuliah :) Aku pernah menuliskan sebuah kisah lakon hidup yang kualami saat bertemu dengan seorang laki-laki. Aku tuliskan sebuah do'a di akhir tulisan. Lantas menulis apa saja kriteriaku, kapan aku ingin menikah juga di diaryku..dan aku selalu mengulang-ulang apa yang telah kutulis dalam doaku. Subhanallah, semuanya menjadi nyata! Bahkan suamiku adalah laki-laki yang kutuliskan kisahnya denganku dan kusisipkan doa dalam kisah itu.
Maka, setiap menulis apapun itu kini aku selalu berdoa bahkan sebelumnya sholat terlebih dahulu agar Allah membimbing tanganku menarikan penaku. Jika apa yang kita ucapkan bahkan hanya kita batin dalam hati saja 'dianggap' Allah sebagai sebuah do'a apatah lagi yang kita tuliskan? Bukankah ada hadits yang intinya jika kita ingin mengubah sebuah kemungkaran adalah dengan lisan, tangan atau hati kita; dan dengan hati itulah selemah-lemahnya iman.
Aku menyimpulkan hadits di atas (dengan segala keterbatasanku) bahwa tulisan kita bisa diartikan 'tangan' kita untuk mengubah sesuatu. Tentu saja ada kuasa Allah di dalamnya untuk menjadikan tulisan kita menjadi nyata atau tidak. Bukankah pula setiap amalan kita yang menjadikan ilham kebajikan bagi orang lain adalah amal jariyah yang tak pernah putus? Bahkan bisa jadi kelak para penulis tak menyangka bahwa pahalanya akan berlipat demikian banyak oleh karena tulisannya menggerakkan banyak orang beramal salih atau malah sebaliknya.
Kita tak pernah tahu apa skenario Allah di balik skenario-skenario yang kita tuliskan. Bisa jadi tulisan yang kita beri tanggal sekian tahun lalu akan menjadi nyata di masa kini. Maka, menulislah yang mencerahkan orang lain :)
Kota Idaman, 01 April 2012 : ba'da isya
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Posting Komentar untuk "Pena = indera keenam (?)"