NAMA LAHIR VS NAMA PENA
Nama aja pakai diributin ya, pakai versus lagi hehe. Bukan maksud mau menyabung (emang ayam) kedua nama di atas, namun ini murni dari pemikiranku yang sempat merasa ragu-ragu dan ga pede plus kurang pas dengan nama pena yang telah kupilih saat ini.
Awalnya ketika SMA aku telah memiliki nama pena, nama yang sering kutulis meski baru di coretan kisah cerita pendek yang amat dangkal ilmu kepenulisannya, hanya sebagai ajang pelabuhan perasaan saja, Nama pena awalku adalah Asma Nur Syifa biasa kusingkat ANS. Asma adalah sosok sahabat zaman Nabi yang sangat pandai berkata-kata (tepatnya Asma binti Yazid), Nur karena aku ingin menjadi cahaya dengan penaku, sedang Syifa adalah aku ingin menjadi pengobat lara (sebenarnya sih lebih karena ngarep biar bisa jadi do’a agar cita-citaku sebagai tukang obat alias dokter terkabul, hihi).
Namun di tengah perjalanan nama pena pertamaku, aku menemukan lagi sebuah semangat, yakni semangat fajar. Maka aku pun berganti nama menjadi “Fajrihid Asma” yang mempunyai maksud yakni Fajar Hidayah untuk Asma dengan harapan aku yang ingin seperti Asma bisa selalu menebarkan semangat fajar agar hidayah Allah semakin membentang.
Ketika akhirnya tiba masa kuliah di kampus peradaban kuno alias ketika kami tak diperbolehkan menulis laporan menggunakan komputer, segala laporan kompetensi mulai dari kompetensi A-Z harus ditulis menggunakan tulisan tangan, serasa tak ada lagi waktu untuk menulis. Hanya diary saja yang sempat kutulisi selain berlembar-lembar kertas A4 untuk laporan yang semuanya harus ditulis tangan. Capeekkk ^_^
Oya, nama penaku saat kuliah adalah “asma1001pena”. Meski sempoyongan mengerjakan laporan dengan tulis tangan, namun aku masih punya pelarian di dunia maya dengan ngeblog. Dan nama pena tadi adalah nama blogku. Aku masih memakai nama “Asma” karena masih terinspirasi tokoh sahabat wanita di zaman Rasulullah. Sayangnya nama tersebut sudah ada yang memakai di jagad kepenulisan. Meski demikian tetap saja aku pede memakai nama pena tersebut, tentunya hanya untuk di blogku atau tulisan-tulisan ringan untuk kalangan teman-temanku. Nama pena tersebut maksudnya Asma yang mengharapkan 1000 pinjaman pena dari Allah agar 1 penaku bisa terus menggores.
Dan ternyata nama pena yang jadi nama blogku tersebut telah “diintip” oleh seorang ikhwan yang saat itu sedang ta’aruf denganku, hanya karena dengan tanpa sadar aku mencantumkan alamat blogku di biodata yang sebelumnya kupakai untuk melamar sebuah job jurnalis (lupa belum diganti, mak! Ta’arufnya buru-buru e jadi ya copas aje hehe). Ia menjelajahi kata demi kata hingga ia menyatakan bisa mengenalku lewat tulisan-tulisanku dan akhirnya makin mantap memilihku. Eits, ungkapan yang dinyatakan sang ikhwan diungkapkan setelah akhirnya kami dirihoi untuk menikah. Bahkan ia telah mengeprint semua tulisanku yang kupajang di blog tersebut yang ia persembahkan ketika aku telah menjadi istrinya.
Seiring waktu akhirnya beberapa tulisanku lolos audisi antologi. Ada seorang editor yang mengatakan bahwa nama penaku “Asma1001pena” kurang menjual dan diminta mengganti. Ideku mentok untuk menghasilkan sebuah nama pena. Kutanya suami pun dia juga buntu ide. Akhirnya iseng kutanya seorang penulis kawakan tentang pendapatnya terhadap nama penaku tersebut, dan tanpa dinyana beliau berkata, “nama pena yang aneh!”. Gubraakkk!
Hmm akhirnya kutemukan sebuah nama pena yang baru yakni “Viana Akbari”, Viana kuambil dari bagian nama asliku sedankan Akbari adalah sebuah harapan agar namaku bisa berkibar dan menjadi akbar (amiin).
Hingga akhirnya lahirlah sebuah buku antologi pertamaku yang mencantumkana nama Viana Akbari. Ucapan syukur tak henti kupanjatkan karena akhirnya nama penaku tertulis di buku, meskipun buku antologi alias buku keroyokan. Aku pun mengirimkan buku tersebut untuk kedua orang tuaku di Jatim. Mereka pun ikut bahagia, karena ibu selama ini tak mendukungku untuk menulis. Aku biasanya akan menulis di laptop ketika Azzam tidur, dan ibu tak suka aku memegang laptop, beliau lebih suka ketika Azzam tidur dan aku ikut tertidur, atau lebih senang lagi jika aku bisa nyambi kerjaan rumah yang lain. Tapi aku tetap saja sering membandel, soalnya ide yang tiba-tiba datang kalau tak segera ditangkap bisa lari lagi.
Dengan lahirnya buku antologi pertamaku (dan insyaAllah akan menyusul yang lain), ada pertanyaan ayah dan ibuku yang menohok hatiku, “kenapa pakai Viana Akbari”, nemu di mana nama tersebut?”. Aku pun menjawab sebisaku. Namun sejak saat itu aku pun berpikir bahwa ketika akhirnya ortuku mendukungku untuk terus menulis dan beliau mengatakan bangga jika kelak aku sukses jadi penulis, bukankah akan lebih baik jika aku memakai saja nama pemberian beliau. Kurasa hal itu akan lebih membuat mereka bahagia karena aku menghargai nama yang pastinya telah melewati beberapa kajian dan mungkin ilham untuk dipilihkannya padaku. Daripada jika kelak aku berhasil menulis buku solo dengan nama penaku saat ini, orang-orang tak mengenaliku dan orang tuaku akan selalu memberikan penjelasan tentang nama tersebut.
Akhirnya, jelang hari ibu ini aku ingin memantapkan hati dengan kembali memakai nama asli, nama yang kudapat sejak lahir dari kedua ortuku. InsyaAllah launchingnya ketika nanti buku soloku sudah rampung. Aku ingin orang tuaku khususnya ibu bangga karena anaknya ini bisa menghargai pemberiannya. Sebuah nama yang dipilih orang tua kita bukan semata perhiasan karena kelahiran kita, namun juga terkandung sebuah do’a tulus untuk anaknya. Karena alhamdulillah aku pun telah merasakan menjadi orang tua ketika memilihkan sebuah nama untuk buah hatiku yang pertama.
Ibu dan ayah...
Kan kupakai nama pemberianmu
Karena aku tak berarti apa-apa tanpa ridhomu
Moga aku bisa selalu menjadi anakmu yang manis dan salihah...
Nah, kan akhirnya nama lahir dan nama pena bisa bersatu tak lagi saling beradu. Karena nama lahir bisa jadi nama pena ^_^. Kalaupun ada teman yang yakin dengan pilihan nama penanya, monggo..tulisan ini bukan untuk menasihatimu, hanya sebuah ungkapan hatiku, tentang perasaanku, sungguh. Kuhargai nama pilihanmu, dan ini nama pilihanku ^_*
Depok, jelang Mother’s Day 2011
Awalnya ketika SMA aku telah memiliki nama pena, nama yang sering kutulis meski baru di coretan kisah cerita pendek yang amat dangkal ilmu kepenulisannya, hanya sebagai ajang pelabuhan perasaan saja, Nama pena awalku adalah Asma Nur Syifa biasa kusingkat ANS. Asma adalah sosok sahabat zaman Nabi yang sangat pandai berkata-kata (tepatnya Asma binti Yazid), Nur karena aku ingin menjadi cahaya dengan penaku, sedang Syifa adalah aku ingin menjadi pengobat lara (sebenarnya sih lebih karena ngarep biar bisa jadi do’a agar cita-citaku sebagai tukang obat alias dokter terkabul, hihi).
Namun di tengah perjalanan nama pena pertamaku, aku menemukan lagi sebuah semangat, yakni semangat fajar. Maka aku pun berganti nama menjadi “Fajrihid Asma” yang mempunyai maksud yakni Fajar Hidayah untuk Asma dengan harapan aku yang ingin seperti Asma bisa selalu menebarkan semangat fajar agar hidayah Allah semakin membentang.
Ketika akhirnya tiba masa kuliah di kampus peradaban kuno alias ketika kami tak diperbolehkan menulis laporan menggunakan komputer, segala laporan kompetensi mulai dari kompetensi A-Z harus ditulis menggunakan tulisan tangan, serasa tak ada lagi waktu untuk menulis. Hanya diary saja yang sempat kutulisi selain berlembar-lembar kertas A4 untuk laporan yang semuanya harus ditulis tangan. Capeekkk ^_^
Oya, nama penaku saat kuliah adalah “asma1001pena”. Meski sempoyongan mengerjakan laporan dengan tulis tangan, namun aku masih punya pelarian di dunia maya dengan ngeblog. Dan nama pena tadi adalah nama blogku. Aku masih memakai nama “Asma” karena masih terinspirasi tokoh sahabat wanita di zaman Rasulullah. Sayangnya nama tersebut sudah ada yang memakai di jagad kepenulisan. Meski demikian tetap saja aku pede memakai nama pena tersebut, tentunya hanya untuk di blogku atau tulisan-tulisan ringan untuk kalangan teman-temanku. Nama pena tersebut maksudnya Asma yang mengharapkan 1000 pinjaman pena dari Allah agar 1 penaku bisa terus menggores.
Dan ternyata nama pena yang jadi nama blogku tersebut telah “diintip” oleh seorang ikhwan yang saat itu sedang ta’aruf denganku, hanya karena dengan tanpa sadar aku mencantumkan alamat blogku di biodata yang sebelumnya kupakai untuk melamar sebuah job jurnalis (lupa belum diganti, mak! Ta’arufnya buru-buru e jadi ya copas aje hehe). Ia menjelajahi kata demi kata hingga ia menyatakan bisa mengenalku lewat tulisan-tulisanku dan akhirnya makin mantap memilihku. Eits, ungkapan yang dinyatakan sang ikhwan diungkapkan setelah akhirnya kami dirihoi untuk menikah. Bahkan ia telah mengeprint semua tulisanku yang kupajang di blog tersebut yang ia persembahkan ketika aku telah menjadi istrinya.
Seiring waktu akhirnya beberapa tulisanku lolos audisi antologi. Ada seorang editor yang mengatakan bahwa nama penaku “Asma1001pena” kurang menjual dan diminta mengganti. Ideku mentok untuk menghasilkan sebuah nama pena. Kutanya suami pun dia juga buntu ide. Akhirnya iseng kutanya seorang penulis kawakan tentang pendapatnya terhadap nama penaku tersebut, dan tanpa dinyana beliau berkata, “nama pena yang aneh!”. Gubraakkk!
Hmm akhirnya kutemukan sebuah nama pena yang baru yakni “Viana Akbari”, Viana kuambil dari bagian nama asliku sedankan Akbari adalah sebuah harapan agar namaku bisa berkibar dan menjadi akbar (amiin).
Hingga akhirnya lahirlah sebuah buku antologi pertamaku yang mencantumkana nama Viana Akbari. Ucapan syukur tak henti kupanjatkan karena akhirnya nama penaku tertulis di buku, meskipun buku antologi alias buku keroyokan. Aku pun mengirimkan buku tersebut untuk kedua orang tuaku di Jatim. Mereka pun ikut bahagia, karena ibu selama ini tak mendukungku untuk menulis. Aku biasanya akan menulis di laptop ketika Azzam tidur, dan ibu tak suka aku memegang laptop, beliau lebih suka ketika Azzam tidur dan aku ikut tertidur, atau lebih senang lagi jika aku bisa nyambi kerjaan rumah yang lain. Tapi aku tetap saja sering membandel, soalnya ide yang tiba-tiba datang kalau tak segera ditangkap bisa lari lagi.
Dengan lahirnya buku antologi pertamaku (dan insyaAllah akan menyusul yang lain), ada pertanyaan ayah dan ibuku yang menohok hatiku, “kenapa pakai Viana Akbari”, nemu di mana nama tersebut?”. Aku pun menjawab sebisaku. Namun sejak saat itu aku pun berpikir bahwa ketika akhirnya ortuku mendukungku untuk terus menulis dan beliau mengatakan bangga jika kelak aku sukses jadi penulis, bukankah akan lebih baik jika aku memakai saja nama pemberian beliau. Kurasa hal itu akan lebih membuat mereka bahagia karena aku menghargai nama yang pastinya telah melewati beberapa kajian dan mungkin ilham untuk dipilihkannya padaku. Daripada jika kelak aku berhasil menulis buku solo dengan nama penaku saat ini, orang-orang tak mengenaliku dan orang tuaku akan selalu memberikan penjelasan tentang nama tersebut.
Akhirnya, jelang hari ibu ini aku ingin memantapkan hati dengan kembali memakai nama asli, nama yang kudapat sejak lahir dari kedua ortuku. InsyaAllah launchingnya ketika nanti buku soloku sudah rampung. Aku ingin orang tuaku khususnya ibu bangga karena anaknya ini bisa menghargai pemberiannya. Sebuah nama yang dipilih orang tua kita bukan semata perhiasan karena kelahiran kita, namun juga terkandung sebuah do’a tulus untuk anaknya. Karena alhamdulillah aku pun telah merasakan menjadi orang tua ketika memilihkan sebuah nama untuk buah hatiku yang pertama.
Ibu dan ayah...
Kan kupakai nama pemberianmu
Karena aku tak berarti apa-apa tanpa ridhomu
Moga aku bisa selalu menjadi anakmu yang manis dan salihah...
Nah, kan akhirnya nama lahir dan nama pena bisa bersatu tak lagi saling beradu. Karena nama lahir bisa jadi nama pena ^_^. Kalaupun ada teman yang yakin dengan pilihan nama penanya, monggo..tulisan ini bukan untuk menasihatimu, hanya sebuah ungkapan hatiku, tentang perasaanku, sungguh. Kuhargai nama pilihanmu, dan ini nama pilihanku ^_*
Depok, jelang Mother’s Day 2011
Posting Komentar untuk "NAMA LAHIR VS NAMA PENA"